
Boyamin Saiman,Koordinator MAKI Pusat
Komisi Pemberantasan Korupsi b3rgerak cepat dan mulai menindaklanjuti laporan terkait dugaan penggunaan dana pertambangan nikel ilegal di Sulawesi Tenggara untuk kampanye Pemilu 2024.
Laporan itu sebelumnya dilayangkan Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) ke KPK pada Kamis, (21/12). MAKI menduga hasil dari pertambangan ilegal sebesar Rp 400 miliar digunakan untuk kampanye pada Pemilu 2024.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan tim pengaduan masyarakat (dumas) KPK sedang mempelajari dan menelaah laporan MAKI tersebut.
“Masih dalam tahap telaah di pengaduan masyarakat,” kata Ali Fikri dikutip JPNN.com
KPK dipastikan telah mengantongi sejumlah data terkait dugaan pertambangan ilegal, termasuk soal aliran uang untuk kampanye.
Laporan dari MAKI akan menjadi sumber data untuk melakukan penyelidikan. “Namun, itu sebagai sumber data yang sedang kami lakukan penyelidikan di Konawe,” kata Ali.
“Kami juga sedang proses perkara yang lama dan telah berjalan. Ditelaah dan analisisnya di bagian pengaduan masyarakat,” tegasnya.
Sebelumnya, MAKI melaporkan dugaan penggunaan dana pertambangan nikel ilegal di Sulawesi Tenggara untuk kampanye Pemilu 2024 ke KPK pada Kamis, 21 Desember 2023. Koordinator MAKI Boyamin Saiman menuturkan, pemilik pertambangan ilegal itu merupakan tim sukses salah satu kandidat pada Pilpres 2024.
“Saya hari ini melaporkan dugaan penambangan ilegal yang diduga untuk dana kampanye, sebagiannya, karena pemilik utamanya menjadi salah satu tim kampanye,” kata Boyamin.
Boyamin tidak menyebutkan secara gamblang tim kampanye mana yang menerima uang Rp 400 miliar dari pertambangan ilegal itu.
“Saya mohon maaf tidak menyebut kampanye dari pasangan nomor berapa, nanti KPK yang menindaklanjuti,” ujar dia.
Berdasarkan perhitungan MAKI, pertambangan ilegal itu menghasilkan uang sebesar Rp 3,7 triliun di mana Rp 400 miliar di antaranya digunakan untuk kampanye.
Boyamin pun membeberkan ada tiga modus aktivitas pertambangan ilegal yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Modus pertama adalah pertambangan itu tidak memiliki izin, karena izin yang mereka gunakan adalah izin milik perusahaan yang sudah dinyatakan pailit.
“Jadi, ini izin 2011, 2014 pailit, tahun 2017 baru berdiri perusahaan ini. Masa kemudian seakan-akan dapat izin tahun 2011. Itu yang modus pertama,” kata Boyamin.
Modus kedua, perusahaan tersebut tidak mengantongi izin dari Kementerian Kehutanan dan tidak membayar iuran.
“Ketiga, ya biasa, dokumen terbang atau dokter. Jadi dia seakan-akan diizinkan itu, kemudian dipakai untuk menjadikan legal tambang-tambang yang ilegal itu. Mencuri lah supaya bisa keluar pakai dokumen dia,” ujar Boyamin.