Menilik kembali Filosofi “pelayan masyarakat”

Menarik untuk berani kembali menterjemahkan artikulasi frasa kata pelayan masyarakat di tengah masyarakat. Dalam 2 frasa kata “pelayan masayarakat”,yang pasti tidak bisa diartikan satu persatu,tetapi harus kita artikan secara utuh dan tidak terputus.
Kata “pelayan” lebih mengandung konotasi arti yang mengarah kepada kinerja yang berhubungan dengan tugas dan kewajiban,lebih mendalam lagi ketika frasa kata pelayan,apabila dipahami secara mendalam dari hati,lebih menuju ke bahasa pengabdian.
Frasa kata “pelayan masyarakat”,melihat paparan diatas,bisa diterjemahkan sebuah tugas dan kewajiban ( multiple meaning ) dengan hati yang ikhlas dalam mengabdi kepada Masyarakat.
Dalam Frasa kata “masyarakat”,harus dipahami bahwa frasa kata tersebut tidak mengandung arti perbedaan,tidak memilah strata dan tidak mengarah ke cluster.Masyarakat secara utuh dipahami adalah Warga Negara Indonesia sesuai Amanah UUD 1945,tidak ada unsur pembeda umur,Suku,Agama atau Ras dan tidak ada pemilahan disana.
Filosofi frasa kata ” pelayan masyarakat ” kembali kami angkat khusus dalam judul diatas sebagai pengingat jati diri yang sebenarnya,pengingat yang mengarah ke pengabdian dalam menjalankan tugas dan kewajiban dan pemgingat hati.
Berkaitan dengan fenomena yang saat ini terjadi,berkenaan dengan tugas dan kewajiban,penulis lebih condong untuk mengupas bagaimana kwalitas dan kwantitas PNS/ASN/PPPK melayani masyarakat.
Kami angkat judul ini secara khusus karena marak sekali muncul Cluster Psycologhy of Mind dari abdi negara atau pelayan masyarakat dalam bungkus PNS/ASN/PPPK,dimana penulis mengartikan bahwa ada sense of Cluster atau rasa pemilahan yang timbul dalam pola berpikir PNS/ASN/PPPK secara psikologis pribadi.
Dalam melakukan rangkaian aktivitas melayani masyarakat,mind of think,menyeruak keluar bahwa kita ( PNS/ASN/PPPK ) beda clusternya dan masyarakat diminta harus mengikuti arahan dan petunjuk mereka tanpa syarat.
Contoh kecil,ketika para PNS/ASN/PPPK melakukan aktivitas senam atau lomba internal kedinasan dengan euforia tawa dan canda,sementara diluar pagar kantor mereka,masyarakat hanya bisa menjadi penonton,melihat diluar pagar sambil bergumam dalam hati ” bahagia sekali ya jadi mereka”.
Pun sama kejadian ketika sebagian masyarakat diundang mengikuti kegiatan rapat,diskusi atau seminar dimana masyarakat yang hadir hanya cukup dengan suguhan nasi kotak atau snack box sedangkan di ruangan lain disediakan menu catering prasmanan lengkap dengan desert atau pencuci mulut ( yang pasti bukan sabun cuci mulut ) dan ruangan tersebut dikhususkan untuk hidangan sang pembicara dan panitia saja.
Entah berapa ribu lembar yang penulis bisa sampaikan seperti cerita diatas ketika mengupas “perilaku pembeda” yang marak dengan sengaja atau lupa atau khilaf gak sengaja dilakukan para pelayan masyarakat ini.
Dan ketika bahasa pengabdian dilakukan oleh kelompok masyarakat yang tergabung dalam Ormas,LSM,Asosiasi yang notabene juga berhak menyandang predikat masyarakat dan untuk kebaikan masyarakat,sang pelayan masyarakat ini tetap mengedepankan dogma yang sudah mengakar dengan kuat yaitu ” anda tetap masyarakat dan kami tidak harus menjadi bagian dari ada “,padahal mereka sejatinya adalah PELAYAN MASYARAKAT.
dalam kesempatan penulisan ini,ada satu pesan kuat yang bisa disampaikan kepada pelayan masyarakat yaitu ” WIS GAK WAYAHE MIKIR KORUPSI,GAK WAYAHE MIKIR SUSUKAN,GAK WAYAHE MIKIR CASH BACK DAN GAK WAYAHE NYOPET DUITE RAKYAT,SAIKI WAYAHE MIKIR MATI “