Sunday, November 3

Astagfirullah,Kasus korupsi Hibah DPRD Jatim belum tuntas,Wacana menguat Ketua DPRD Jatimnya Musyafak Rouf

Heru MAKI : Badai di lingkungan DPRD Jatim pasti belum akan berlalu
0
324

Jika tidak ada skenario lain, Musyafak Rouf, akan ditetapkan sebagai Ketua DPRD Jatim definitif periode 2024-2029 bersama wakil ketua lainnya dalam Rapat Paripurna Penetapan Calon Pimpinan DPRD Jatim Masa Jabatan 2024-2029 pada Senin (23/09/2024) mendatang.

Kepastian soal Rapat Paripurna itu tertuang dalam Surat Ketua DPRD Jatim Sementara Nomor: 000.1.5/4186/050/2004, tertanggal 19 September 2024, yang ditandatangani Ketua Sementara Hj. Anik Maclachah.

Penunjukkan Musyafak sebagai Ketua DPRD Jatim oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai peraih kursi terbanyak, sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 111 ayat (2) dan Pasal 164 ayat (2) bahwa Pimpinan DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota berasal dari Partai Politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota.

Penunjukkan Musyafak oleh PKB ini mendapat sorotan dari berbagai elemen masyarakat pegiat antikorupsi. Publik tidak lupa dengan masa lalu Musyafak.

Keputusan PKB yang menunjuk Musyafak dinilai seolah tidak menghiraukan situasi kebatinan lembaga DPRD Jatim yang hingga kini masih jadi sorotan publik terkait kasus dana hibah yang melibatkan unsur pimpinan dewan periode 2019-2024.

Masih segar dalam ingatan, Gubernur Jatim Soekarwo memberhentikan Musyafak Rouf secara tidak hormat melalui surat keputusan nomor: 171.436/225/011/2013 tentang Peresmian Pemberhentian dan Pengangkatan Pengganti Antarwaktu anggota DPRD Surabaya, tertanggal 24 Juli 2013.

Gubernur Soekarwo akhirnya mengeluarkan surat pemberhentian secara tidak terhormat kepada Musyafak yang menjabat Wakil Ketua DPRD Surabaya resmi menyandang status narapidana kasus gratifikasi Jasa Pungut senilai Rp720 juta dan ditahan di Lapas Porong, Sidoarjo.

Keluarnya Surat Pemberhentian tidak hormat oleh Gubernur Jatim kala itu juga berdasar surat DPC PKB Surabaya, Juni 2013, Nomor: 0025/DPC-02/B.1/VI/2013. Dilayangkannya surat DPC ke Gubernur Jatim saat itu lantaran Musyafak Rouf dinyatakan bersalah di mata hukum.

Heru MAKI,Ketua Masyarakat Anti Korupsi Indonesia ( MAKI ) Koorwil Provinsi Jawa Timur menyatakan kekecewaan dan keprihatinan luar biasa atas keluarnya rekomendasi Partai PKB yang memberikan peluang Musyafak Rouf untuk menjadi Ketua DPRD Jatim.

” menjadi keprihatinan luar biasa,bayangkan,kasus hibah DPRD Jatim yang sudah menetapkan 21 tersangka,saat ini masih terus berproses,dimana KPK masih terus menelusuri dan mendalami keberadaan Pokmas Hibah DPRD Jatim yang pastinya akan menyeret Anggota DPRD Jatim,terutama dalam kurun waktu pelaksanaan hibah 2019 – 2022,” kecam Heru MAKI.

Heru MAKI menambahkan bagaimana suasana kebatinan masyarakat Jawa Timur terkait kasus korupsi hibah yamg sudah menyeret 21 tersangka,dan trauma itu pasti masih membayang,fakta politik luar biasa terjadi ketika DPRD Jatim harus dipimoinan mantan napi korhptor.

Dijelaskan, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan permohonan perkara Nomor 87/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Leonardo Siahaan, yang menyebutkan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang pernah menjalani pidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik yang bersangkutan mantan terpidana sebagaimana diatur dalam norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu tersebut tidak sejalan dengan semangat yang ada dalam persyaratan untuk menjadi calon kepala daerah dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada.

Menurut Heru MAKI, jika secara eksistensi DPRD Jatim lebih mengutamakan nama baik kelembagaan, alangkah baiknya jika DPRD Jatim tidak dipimpin oleh mantan napi koruptor.

“Meskipun sudah menjalani proses hukum, namun tabiat korupsi tidak akan hilang karena menganggap biasa dan tidak punya rasa malu,” tegas Heru MAKI.

Kepastian soal bakal ditetapkannya Musyafak Rouf sebagai Ketua DPRD Jatim dalam Rapat Paripurna Senin besok dibenarkan oleh Sekretaris Dewan DPRD Jatim, Ali Kuncoro. Menurut Ali, proses pemilihan Ketua Dewan sudah ada ketentuannya.

“Partai dengan suara terbanyak yang menjadi Ketua. Penunjukkan ditetapkan oleh Pimpinan Partai Politik yang bersangkutan. Ini adalah mandat aturan. Soal yang ditunjuk punya masa lalu itu bukan menjadi domain kita,” ujar Ali.

Terpisah, pengamat kebijakan publik Dr. Basa Alim Tualeka, MSI, menjelaskan, usulan mantan narapidana untuk menjadi Ketua DPRD Jatim, seperti dalam kasus Musyafak Rouf, dapat dilihat dari banyak aspek.

“Meskipun secara hukum diperbolehkan, penunjukan mantan narapidana dapat menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Partai harus mempertimbangkan dampak reputasi yang mungkin timbul,” ujar Alim.

Menurut Alim, penilaian masyarakat terhadap integritas dan komitmen terhadap pemberantasan korupsi dapat ikut mempengaruhi. Kuncinya, kata Alim, mantan narapidana korupsi dapat diusulkan menjadi Ketua DPRD Jatim jika memenuhi syarat hukum dan mendapatkan dukungan partai serta fraksi.

“PKB pasti bertanggung jawab untuk memastikan bahwa calon yang diusulkan memenuhi syarat dan memiliki reputasi yang baik. Meskipun Musyafak mantan narapidana korupsi, partai harus mengevaluasi apakah dia telah menunjukkan perubahan dan komitmen terhadap integritas. Saya yakin PKB sudah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap rekam jejak Musyafak untuk memastikan bahwa dia dapat diandalkan dalam menjalankan tugasnya,” tegas Alim.

Sementara itu, Tjandra Malaka, Koordinator Jawa Corruption Watch (JCW) menyampaikan, keputusan PKB menunjuk Musyafak ini bentuk dari sikap partai politik melawan kehendak mayoritas masyarakat yang tak kurang 90 persen lebih tidak menghendaki mantan terpidana korupsi mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif.

Mahkamah Konstitusi melalui putusannya pada tahun 2007 telah menegaskan bahwa masyarakat tidak dapat begitu saja diminta untuk menentukan pilihan tanpa ada mekanisme penyaringan terlebih dahulu di internal partai, utamanya dalam hal integritas kandidat.

“Partai politik cenderung pragmatis dalam memilih figur yang akan dicalonkan sebagai calon anggota legislatif. Ada mantan terpidana korupsi yang sudah jelas terbukti secara hukum. Ini mencerminkan ketiadaan kaderisasi di internal partai,” pungkasnya.

Leave a reply